Minggu, 20 Desember 2015

Titip Salamku untuk Adik, Bu

Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kuis #GAZaki4 bertema Hari Ibu, Desember, 2015.

Titip salamku untuk Adik, Bu

Kring... Kring...
Tubuhku menggeliat kala ku mendengar dering telepon itu. Apa ia tidak tahu jam berapa sekarang ini? Kenapa sepagi ini ia harus membangunkanku.
Kring... Kring...
Srek...
Kudengar suara gesekan di kasur tempatku membaringkan tubuh ini. Sekejap aku melirik ke arah sumber suara. Aku melihat bayangan punggung kakak sepupuku beranjak keluar kamar. Oh, akhirnya ada juga yang ingin menghentikan dering telepon yang berisik itu. Tapi karena mataku yang telah membulat penuh ini sulit untuk kupejamkan kembali, akhirnya aku mengalah dan mulai beranjak bangun dari tidurku. Perlahan kulangkahkan kakiku keluar, menuju ruang tengah yang menyatu dengan ruang makan dan bersender di salah satu kursinya. Menghadapkan badanku lurus kearah depan, tepat pada sosok kakak sepupuku yang tengah menerima telepon tadi. Kulihat raut wajahnya sedikit serius, entah siapa yang menelepon kurasa ada sesuatu yang buruk terjadi. Karena perasaanku juga sedikit gelisah.
"Vira meninggal?" Apa? Siapa yang meninggal tadi? Vira? Lututku terasa begitu lemas, entah aku tidak tahu kenapa hatiku terasa begitu sakit, aku merasakan air mataku mulai mengenang siap untuk jatuh membasahi pipiku. Tuhan, kumohon Vira yang diberitakan meninggal itu tidak sama dengan Vira yang ku kenal selama ini.
Kak Linda menutup teleponnya. Meski tak bisa kudengar, tapi aku bisa melihat dari gestur tubuhnya bahwa ia baru saja menghembuskan nafas yang begitu berat. Tidak! Aku tidak ingin mengetahui kebenarannya.
Perlahan ia berjalan menuju tempatku berdiri saat ini. Kak, kumohon berhwnti disana! Kurasakan batinku memberontak.
"In, Vira meninggal." Oh Tuhan, kurasakan lututku melemas. Aku tidak mampu bersiri dengan sempurna lagi. Kupegang erat sisi meja makan untuk menjaga keseimbangan tubuhku.
"Vira, siapa Kak?" meski aku tahu, tidak! Maksudku, aku mempunyai feeling bahwa pemikiran kami sama. Tapi, aku hanya benar-benar butuh sesuatu yang pasti untuk menjelaskan semua ini. Vira? Tentu banyak orang yang mempunyai nama itu, kan?
"Vira, adikmu. Savira." Seperti halilintar, kata-kata yang keluar dari mulut Kak Linda. Berhasil membuat hatiku remuk, air mata yang sesari tadi kubendung telah berhasil meloloskan diri dan mengalir indah di kedua pipiku. Jatuh membasahi lantai berkeramik putih susu itu. Aku hanya mampu berdiam diri. Menatap kosong pada kedua mata kakak sepupuku itu, berharap aku bisa menemukan tanda kebohongan yang terpancar dari sana. Tapi semuanya nihil! Suara tangisanku mulai menggema, hanya rintihan kepedihanku yang terdengar mengalun, begitu perih, menyayat hati setiap orang yang mendengarnya.
"Vira nanti dibawa kerumah kakek. Kita sarapan dulu, mandi baru berangkat kesana ya." Kurasakan hangat menyelimuti tubuhku. Tangisanku semakin mengebu-ngebu, kala kak Linda mempererat pelukannya.
"Iin langsung kerumah kakek saja ya, Kak." Meski semua kata yang meluncur dari mulutku tidak terdengar begitu jelas, tapi aku yakin dia tahu maksudku karena aku menggelengkan pelan kepalaku. Perlahan kulepas pelukan itu dan berusaha menenangkan diriku.

****

Tatapanku kosong tepat kearah kasur yang berselimutkan sprei putih dengan beralaskan lantai tepat berada didepan mataku. Sayup-sayup kudwngar sirine mobil Ambulance mulai terdengar, segera kuberanjak bangkit dari posisi dudukku dan berjalan menuju pintu depan. Suasana rumah kakek sudah sangat ramai, bahkan sulit untukku melihat jelas kearah luar halaman rumah. Suara sirine itu semakin terdengar keras dan berhenti tepat di depan halaman rumah kakek. Beberapa sanak keluargaku yang sedari tadi telah ikut menunggu kedatangan jenazah adikku berjalan mendekat ke mobil.
Beberapa orang yang berdiri di depanku mendorong tubuhku secara perlahan ke belakang. Bisa kulihat jelas jenazah adikku yang telah dibungkus dengan kain kafan telah dibopong masuk kedalam rumah menuju tempat pembaringan terakhirnya yang telah dipersiapkan dengan begitu rapi.

****

"Maaf ya, Nak." Aku sangat benci mendengar suara itu sekarang ini! Entahlah, apa itu suaranya atau pemilik suara itu!
"Heum.." jawabku sekenanya, masih bermanja dengan lamunan yang entah kemana membawa jiwa dan pikiranku pergi, semuanya kosong.
"Sebelum kami pergi kemarin, diperjalanan pulang adikku berkata kalau kak Iin menginap dirumah kak Linda. Nanti Vira main sama siapa, Bu?  pada Ibu." Kumohon hentikan! Ini sudah kesekian kalinya aku mendengar itu. Kata-kata terakhir dari adikku yang selalu terngiang di benakku. Membuat aku semakin sulit untuk mengikhlaskan kepergiannya.
Ya! Semua ini memang salahmu, Bu. Memang pantas dirimu untukmeminta maaf. Andai saja kau mengajaknya kembali menjemputku dirumah kak Linda, andai saja kau tidak membiarkanku egois untuk menikmati liburan sekolahku di rumah kak Linda. Aku pasti bisa bersama dengan adikku. Setudaknya, meskipun memang ia sudah ditakdirkan untuk meninggal. Aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya, aku bisa menemaninya dihari terakhirnya. Aku bisa menjauhkannya dari rasa sakit yang ia rasakan ketika menghembuskan nafas terakhirnya.
Adikku. Siti Savira Aini. Dia meninggal karena tenggelam dalam kolam saat hendak mandi. Jelas saja itu sudah takdirnya, tapi sulit untukku menerima kenyataan. Karena aku yakin ia pasti begitu merasa sakit dan takut, karena ia tidak bisa berwnang. Dan kau pasti tahu alasan aku membwnci Ibuku. Bukankah dia tahu kalau adikku tidak bisa berenang, kenapa ia membiarkam adikku mandi sendiri tanpa pengawasan darinya!
Sulit untukku membayangkan saat ia sedang berusaha bertwriak meminta tolong. Vira!

****

"Vira!" 
Aku tersentak! Kurasakan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Mimpi itu. Kembali mendatangiku. Meski sudah berlalu begitu lama, 15 tahun. Tapi masih saja aku terlena akan masa laluku yang kelam itu.
Aku tidak ingin hidup terbelenggu akan masa lalu yang buruk, aku inhin hidup bahagia dan melupakan semuanya. Tapi, mungkinkah karena saat itu aku masih kecil. Usiaku baru 10 tahun dan aku kehilangan satu-satunya adik sematawayangku. Orang yang paling kusayangi di dunia ini. Aku memang memiliki 2 kakak perempuan juga, tapi entahlah, saat itu aku benar-benar sedang kesepian karena kedua kakakku telah sibuk dengan teman sepermainnannya hingga yang kumiliki hanya Vira, adikku.
Aku beranjak bangkit dari tempat tidur dan menatap wajahku yang terpantul di cermin meja hiasku. Mataku sembab, beberapa hari ini aku sering memimpikan kepergian adikku. Apa itu sebuah pertanda? Mungkinkah itu karena sebentar lagi kedua orangtuaku akan berangkat Umrah.
Huh. Mengingat keberangkatan mereka yang tinggal beberapa hari lagi itu, aku sangat lelah. Kenapa selalu saja aku? Apa karena aku masih sendiri sedangkan kedua kakakku telah menikah dan sibuk dengan keluarga kecil mereka, jadi orang tuaku terus saja menyuruhku melengkapi berkas dan keperluan mereka untuk di Mekkah sana nanti. Ikhlas. Tentu saja aku ikhlas, tapi... ya sudahlah. Aku hanya tidak suka dengan kenyataan yang telah menghampiri hidupku. Kau tahu sulit melupakan masa laluku. Dan sejujurnya, aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Aku lelah, butuh waktu berapa lalu untuk aku terbebas dari semua rasa benci ini? Aku tidak ingin semua terlambat nantinya.
Mereka selalu saja membebanku dengan hal-hal yang bahkan terbilang mudah, dan mereka bisa melakukannya dengan baik. Tapi mungkin hidup mereka tidak akan sempurna jika tidak menyusahkanku? Apa mereka tidak sadar bahwa aku benci akan semua itu. Bahkan sering aku menunjukkan raut wajah ketidaksukaanku saat sedang berbicara dengan mereka. Aku ibgin mereka sadar. Tapi, janji itu. Janji yang entah kenapa begitu mudah aku mengucapkannya dan aku merasa lemah ketika tidak mampu memberontak. Hanya helaan nafas panjang yang mampu meredam amarahku. Karena janji itu, aku bertahan selama ini.

****

"Bangun, Nak. Ibu akan berangkat sebentar lagi." Aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kulit tubuhku. Suara itu, Ibu.
"Eum..." perlahan aku membuka mata dan bangkit memposisikan tubuhku duduk di atas tempat tidur. Tepat di depan ibu yang tengah duduk disampingku, meski kami tidak saling berhadapan tapi aku bisa merasakan Ibu tengah menatapku saat ini.
"Ibu minta maaf ya, Nak. Entah apa yang kau dengar dari orang-orang. Tapi percayalah, Nak. Ibu juga tidak ingin adikmu pergi dalam keadaan seperti itu." Deg! Tepat menembus jantungku, permintaan maaf Ibu kali ini mampu membuat sesuatu yang selama ini telah terbangun secara kokoh di hatiku kini sepertu hancur, roboh seketika. Ibu.... Aku mendengar suara hatiku untuk pertama kalinya melantunkan kata itu.
"Ibu tahu, Nak. Kau pasti marah sama Ibu. Tapi semua itu bukan keinginan Ibu. Mana ada orang tua yang ingin anaknya mati." Kurasakan buliran-buliran hangat membasahi pipiku.
"Adik.... Di Mekkah nanti Ibu pasti ketemu sama adik, kan?" Entah apa yang mendorongku untuk mengatakan semua itu. Tapi aku merasa lega ketika aku telah berhasil mengatakannya.
"Tentu, Nak. Tentu. Pasti ibu akan bertemu dengan adikmu disana." Tangisanku semakin menjadi ketika kurasakan untuk pertama kalinya sepanjang hidupku pelukan hangat dari sosok seorang Ibu yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkanku selama ini.
"Kalau Ibu ketemu adik. Katakan padanya Kakak minta maaf ya, Bu. Kakak sayang sama Adik." Kubalas pelukan Ibu. Kini aku bisa mencium wangi lembut dari seoeang Ibu.
"Iin janji sama adik untuk selalu menjaga Ibu dan Ayah apapun yang terjadi. Iin tidak akan meninggalkan kalian." Sulit untuk mengatakan itu semua. Tapi aku merasa bahagia. Terima kasih, Tuhan. Aku sangat bodoh selama ini!
"Maaf ya, Nak. Sudah buat hidupmu susah selama ini." Perlahan Ibu melepas pelukan kami dan menghapus air mataku. Aku baru sadar bahwa dimata Ibu kini telah banyak kerutan-kerutan kecil. Oh Tuhan, kenapa aku bisa bertindak sebodoh ini. Aku telah menghabiskan waktuku oercuma selama ini. Penuh akan kebwncian. Kenapa butuh waktu begitu lama kau menyadarkanku? Kenapa aku membiarkan orang tuaku hidup dengan rasa bersalah yang begitu besar atas suatu hal yang sebenarnya tidak terjadi karena keinginan mereka. Itu semua adalah takdir Tuhan. Maut! Siapa yang bisa menebak kapan kematian akan menjemputnya. Aku menghembuskan nafasku perlahan. Kutatap lekat wajah Ibu dan kuraih tangan kanannya. Dengan penuh rasa bersalah, aku memberanikan diri untuk mencium pungung tangan Ibu. Lama. Aku tidak berani menatap wajah Ibu. Hingga beliau menarik tangannya sembari mengelus rambutku. Perlahan sentuhan tangannya turun mengikuti lekuk wajahku, ketika tiba di ujung daguku. Beliau mengangkatnya, dengan sedikit keberani aku menatap wajah Ibu. Sebuah aenyum terpancarkan begitu indah. Hatiku lega.
Akupun tersenyum. "Maaf, Bu."



Unforgettable Stories
Pada antologi cerpen kelima ini, kau diajak berkenalan dengan Afifah, seorang anak perempuan yang memperjuangkan mimpinya, akan kembali mengingatkanmu pada masa-masa penerimaan mahasiswa baru. Ketika perjuangan, mimpi, dan harapan dipertaruhkan, hanya ada satu keputusan meski pada akhirnya hukum alamlah yang paling berpengaruh terhadap keputusan itu.
–Ahmad Zaki Fauzi.
Itulah kutipan dari cerpen 'Panah-Panah Hrudadali' yang ditulis oleh bang Zaki, selaku host dari giveaway ini. Antalogi cerpen kelima dari Diva Press yang akan beliau berikan untuk pemenang dari event #GAZaki4 kali ini. Buat kalian yang ingin memesan buku Unforgettable Stories bisa langsung klik link ini ya => PO Unforgettable Stories  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar