Minggu, 20 Desember 2015

Review Gulali Cinta by Fifi Alfiana Rosyidah



Penulis : 1. Fifi Alfiana Rosyidah
                              2. Muhammad Tajul Mafachir
                   3. Krismatya Prasastika
Pemerhati Aksara : andayan_ni
Desain Sampul : Anto
Tata Letak : Adjie
Penerbit : Leutikaprio
Terbit : Februari 2013
ISBN : 978-602-225-601-4


Dalam fase remaja, labilitas merupakan sebuah keniscayaan. Di mana setiap remaja selalu menemukan dirinya di zona yang sama. Dia akan terjatuh, terhanyut dan tersesat arus, adalah pilihan masing-masing. Namun, setidaknya ada satu hal menjadikan labilitas sebagai perangai dan sosok yang sedang mencari. Kemudian ia keluar dari gua dan menyentuh seecercah cahaya.
Penanaman nilai kehidupan dari seorang remaja--yang mencari dirinya-- novelis dan jurnalis muda Fifi Al Fiana Rasyidah, tidak dapat dipungkiri, mampu menenggelamkan pembaca dalam olah diksi nan apiknya dan pemyampaian perasaan dari seorang berhati lembut, mampy mencuatkan makna dalam imaji dan kata-kata yang sederhana.

Berbeda dengan sosok Muhammad Tajul Mafachir. Dengan gaya kepenyairan jalanan, yang lantang, lugas dan bernas begitu kentara dalam penyampaian idealisme dan gagasannya. Di imbangi dengan kemampuannya untuk mengekalkan jiwa dan hati dalam satu mata rantai yang terus ia berulang kali perjuangkan; estetika. Namun, di balik semua itu, pembaca akan tertegun ketika kejujuran ia manfaatkan sebagai modal sebuah perenungan percintaan. Sebuah perjalanan roman. Sehingga ia berubah seketika menjadi danau yang hijau.

Penggabungan antara kelembutan dan ketegasan; feminim-maskulin, menjadikan antalogi puisi Gulali Cinta ini sebagai keutuhan sebuah pencarian dari ragam gaya pendekaten dan kecuraman sebuah perjalanan kehidupan. Menawarkan sebuah keseimbangan dalam pendakian remaja, yang diterakan oleh goresan pena Krismatya Prasastika. Remaja penyamun rasa dan kata.

-------Gulali Cinta-------


Sebuah buku antalogi puisi yang diramu oleh tiga penyair dengan segala rasa keindahan dan kegalauan yang mereka pahami tersusun dengan begitu rapi dalam buku ini. Terdiri dari 43 puisi, dimana Mba Fifi menyajikan 9 judul puisi dan selebihnya Mba Matya dan Mas Tajul masing-masing mempersembahkan 17 judul puisi yang tak kalah menggugah hati dengan segala pesona dan kelebihan yang mereka miliki dalam menyampaikan segala rasa dalam susunan kata hingga menjadi lebih bermakna.

Dari ke 43 puisi yang disajikan, aku telah memilih dua puisi yang begitu menyentuh kalbuku. Mungkin karena aku sekarang sedang merasakan kegundahan seperti yang telah digambarkan Mba Fifi dan Mba Matya melalui salah satu karya ciptaan mereka ini.

Akumulasi Pahit dan Rasa
Fifi  Al Fiana Rasyidah

Pahit
Sesapan kopiku hari ini terasa amat pahit
Tak ada bedanya meski aku sesap secepat kilat
Tak ada bedanya pula jika seketika kutelan
Rasanya tetap saja pahit
Tetap saja tertinggal getir pahitnya
Lidahku tak kuasa menahan rasa sengau pahit itu
Mataku mengakumulasikan kepahitan itu dengan memejam
Bibirku bergetar dan berkata: "Pahit."

Seperti hatiku ketika pahit mengakumulasi rasaku
Rasaku terhadapmu
Seolah getir selalu menyelimuti
Seakan kabut tebal ampas kopi mengitasi setiap jengkalnya
Mungkin memang benar
Tidak seharusnya muncul rasa ini
Tidak seharusnya ia muncul saat ini, ada detik ini
Rasa yang justru hanya akan memyakiti aku sendiri
Menyayat hatiku sendiri
Menusuk diriku sendiri
Tanpa kau tahu perang apa yang sedang bergemuruh di hatiku

Dan aku memang tidak pernah ingin tahu
Tak sedikit pun
Bahwa aku tak kuasa menelan pahit
Yang entah kenapa masih saja aku kuasa menelannya


Wanita Tumbuk
Krismatya Prasastika


Kukatakan pada peri kecil
Tentang dirimu yang ada dalam ingatanku
Menyapa benak mwnjawab di kalbu
Mentari menghangatkan bagai sentuhan yang tak pernah kudapat
Kau telah berikan harapan yang buatku melayang,
Seiring waktu berjalan di tengah kehampaan
Ku merindukanku bagaikan mawar
Ku ingin mencintaimu bagaikan cinta sepasang merpati
Ku ingin bersamamu bagaikan hangatnya matahari menyinari bumi
Walaupun terkadang ku berpikir itu semua hanyalah mimpi...
Khayalan yang buatku semakin tak terkendali
Membalut jiwaku dengan mimpi yang tak pasti


Seperti itulah para pujangga cinta menyampaikan perasaan mereka, tak mampu menyakiti perasaan seseorang, hingga bisa memgutarakan semua melalui sajak yang terus saja mengalun indah, menemani sang pujangga berkutat manis dengan khayalannya. Goresan pena yang tak mau berhenti hingga mungkin rasa itu benar-benar telah menghilang selamanya.
Sayangnya, dibalik keindahan semua sajak itu masih saja terdapat beberapa kesalahan dalam pengetikan. Dimana, hampir disetiap puisi ada kata yang tidak diawali dengan huruf besar atau kerapihan penulisan yang tidak menggunakan justify agar tulisan terlihat lebih enak dipandang mata, seperti pada halaman 46-51.

Selebihnya, aku sangat menyukai semua karya dai ketiga penyair ini. Semoga mereka tetap terus menghasilkan karya-karya yang begitu indah terus mengalir, mengikuti arus. Tak akan pernah berhenti hingga mereka menemukan tempat pemberhentiannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar