Senin, 26 Oktober 2015

Review Gus by Dian Nafi




Penulis : Dian Nafi
Editor : Khanifah
Desain Sampul : Irfan Fahmi
Penerbit : Kakilangit Kencana
Terbit : Desember 2014
Tebal : 198 halaman
ISBN : 978-602-8556-37-8


Mafazi, Gus di sebuah pesantren yang digadang-gadangkan sebagai calon pemimpin pesantren, sama sekali tidak berambisi untuk memegang tampuk kepemimpinan. Ia sebisa mungkin berupaya untuk tak sering-sering berada di pesantren dan menggunakan waktu kuliahnya sebagai alasan untuk melarikan diri.

Sama sekali tak pernah ia bayangkan, tiba-tiba Umminya sakit dan meninggal. Lalu Mafazi dihadapkan pada pilihan yang tak ia sukai; mau tidak mau ia harus bertanggugjawab atas posisinya sebagai anak laki-laki satu-satunya. Satu per satu, masalah datang menghampirinya; Abahnya yang menikah lagi serta datangnya seorang putra dari istri Abahnya yang mengancam kedudukannya sebagai “pangeran” di pesantren itu. Mafazi pun cemburu, apalagi ternyata Harun, putra tiri Abahnya itu tak hanya cakap tetapi juga memiliki pengetahuan agama yang mumpuni dan berpotensi menjadi pesaingnya sebagai putra mahkota dan pesaing dalam memperebutkan hati seorang gadis.

-------Gus-------

Mafazi, gus yang merupakan calon penerus bagi orangtuanya untuk memimpin pesantren yang telah  mereka dirikan sejak beberapa tahun yang lalu. Mafazi yang diharapkan bisa menjadi seorang pemimpin yang baik, seorang kyai yang bisa menjadi panutan. Tapi sayangnya Mafazi tidak tertarik untuk semua itu, ia lebih memilih hidup menjadi seorang mahasiswa biasa yang ingin lulus dengan hasil yang memuaskan agar nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan pula.

Namun sayangnya, sejak terjadinya insiden kebakaran di pesantren yang menghanguskan sebagian pondok disana, membuat para penghuni pesantren sekaligus keluarga Mafazi yang ikut tinggal disana jadi kalang kabut. Terlebih beberapa hari kemudian sang Ummi akhirnya meninggal dunia. Membuat Mafazi semakin terpuruk dan ragu untuk memilih jalan yang benar, meneruskan mimpi sang Ummi yang menginginkan Mafazi jadi Kyai atau melanjutkan kuliah dan mimpinya.

Belum sudah Mafazi dengan pilihan itu, ia dirundung masalah baru lagi, Abi yang tiba-tiba mengajukan permohonan agar ia diizinkan untuk menikah lagi, membuat risau Mafazi dan kedua kakak perempuannya. Karena mereka berpikir Abi tidak sayang sama Ummi karena beliau memilih untuk menikah lagi. butuh waktu lama akhirnya pernikahan pun berlangsung, Ummi baru mereka kini telah tinggal bersama mereka di pesantren, diikuti dengan putra lelaki satu-satunya yang bernama Harun. Dikenyataan pahit bagi Mafazi, karena kini ia merasa Abi lebih sayang pada saudara tirinya itu, terlebih karena dia juga memiliki wajah yang tampan, akhlak yang mulia, dan ilmu yang mendalami bahkan dibidang keagamaan. Bahkan juga sering membantu mengurusi pesantren. Membuat Mafazi risih akan kehadirannya. Apakah Mafazi menerima kehadiran Harun dengan baik? Apa dia akan membiarkan saudara tirinya itu merebut semuanya dari dirinya begitu saja, kasih sayang orang terdekatnya, bahkan posisinya sebagai calon penerus pesantren keluarganya?

****

 “Betapa tuhan suka bercanda. Kehidupan ini. Kematian ini. Secepat kilat ditebasnya pemikiran untuk menggugat atau mencibiri TUhan atas candaNya yang membuatnya masygul sekejap.”

Setiap manusia pasti pernah dihadapi masalah dalam hidupnya, terutama harus dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama memiliki pengaruh besar untuk kehidupannya nanti. Sulit untuk memilih satu diantara mereka, apalagi jika salah satu pilihan itu diajukan oleh orangtua yang pastinya telah berpikir matang akan kebaikan hidup anaknya. Seperti itulah kegundahan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca melalui tokoh Mafazi.

Suasana kental pesantren yang selama ini jauh dari bayanganku, terasa begitu nyata saat membaca buku ini. Bahkan aku bisa membayangkan dengan begitu jelas posisi-posisi dan sudut-sudut bangunan pesantren. Kebiasaan para santri yang terus mereka lakoni setiap hari, mulai dari sholat berjamaah, mengaji bersama, membersihkan pesantren dan banyak hal lainnya yang mereka lakukan di pesantren.

Nuansa islaminya juga begitu terasa, banyak meninggalkan pesan-pesan yang bermakna mendalam. Namun sayang, menurutku menjelang akhir buku nuansa keagamaannya tidak begitu kental lagi seperti saat diawal-awal cerita.

Karakter para tokohnya juga begitu kuat, mereka mendapatkan porsi yang sepadan. bahkan sosok sang Ummi yang dikisahkan meninggal dunia di awal cerita masih terasa kehadirannya dikala penulis menceritakan masa lalu berdirinya pesantren, kita juga bisa membayangkan betapa gigihnya usaha beliau untuk membangun pesantren itu.

Secara keseluruhan saya suka buku ini. Memberitahukan saya banyak hal tentang kehidupan pesantren, memberikan beberapa pesan-pesan moral yang bijak, serta mampu membuat saya terbawa suasana terlebih ketika meninggalnya Ummi, tak henti-hentinya saya mengalirkan air mata, tak sanggup rasanya membayangkan bagaimana nanti jika ibu saya juga meninggal? Semua adalah rahasia Tuhan.

Sukses untuk Mba Dian Nafi, ditunggu karyanya yang selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar